13 Februari, SMP Islam Al Syukro kunjungi Kedubes Turki dan Istana Merdeka
- Details
- Berita SMP
- Hits: 2692
Dalam almanak pendidikan SMP Islam Al Syukro, bulan Februari biasanya akan dilakukan kunjungan pembelajaran ke lapangan (field trip atau study tour). Menurut Wakil Kepala SMP Islam Al Syukro bidang Kurikulum, Ibu Heriyah MA, pada Sabtu, 13 Februari 2010 ini, field trip akan mengajak para siswa SMP Islam Al Syukro ke empat lokasi yang berbeda.
”Yaitu, ke kantor Kedutaan Besar Turki, ke Istana Merdeka dan ke Museum Gajah serta Monumen Nasional (Monas),” jelasnya.
Adapun tema yang diusung, kata Ibu Heriyah, adalah tentang Nasionalisme dan Membangkitkan Semangat Kebangsaan. ”Khusus untuk kunjungan ke kantor Kedubes Turki di Jakarta, kami akan memberikan pemahaman kepada para siswa untuk mempelajari keharmonisan hubungan bilateral kedua negara. Selain itu, mengetahui secara langsung, bagaimana sebenarnya kerjasama imbal-balik bilateral (dua negara) yang meliputi hubungan kerjasama politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain,” urainya.
Sedangkan untuk kunjungan ke Istana Merdeka, lanjutnya, pihaknya berharap para siswa dapat melihat sendiri bagaimana kondisi fisik dan serba-serbi yang ada di Istana Merdeka yang merupakan salah satu simbol kenegaraan. ”Adapun kunjungan ke Monas dan Museum Gajah di Jakarta Pusat, juga dimaksudkan untuk lebih mengeksplorasi sejarah bangsa Indonesia,” terang Ibu Heriyah.
Dalam situs ensiklopedi online, WIKIPEDIA disebutkan, Istana Negara dan Istana Merdeka yang berada di satu kompleks di Jalan Merdeka, Jakarta, merupakan dua buah bangunan utama yang luasnya 6,8 hektar dan terletak di antara Jalan Medan Merdeka Utara dan Jalan Veteran, Jakarta Pusat.
Dua bangunan utama adalah Istana Merdeka yang menghadap ke Taman Monumen Nasional/Monas (Jalan Medan Merdeka Utara) dan Istana Negara yang menghadap ke Sungai Ciliwung (Jalan Veteran). Sejajar dengan Istana Negara ada pula Bina Graha. Sedangkan di sayap barat antara Istana Negara dan Istana Merdeka, ada Wisma Negara.
Pada awalnya di kompleks Istana di Jakarta ini hanya terdapat satu bangunan, yaitu Istana Negara. Gedung yang mulai dibangun 1796 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dan selesai 1804 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Siberg ini semula merupakan rumah peristirahatan luar kota milik pengusaha Belanda, J A Van Braam. Kala itu kawasan yang belakangan dikenal dengan nama Harmoni memang merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia Baru.
Pada tahun 1820 rumah peristirahatan van Braam ini disewa dan kemudian dibeli (1821) oleh pemerintah kolonial untuk digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta tempat tinggal para gubernur jenderal bila berurusan di Batavia (Jakarta). Para gubernur jenderal waktu itu kebanyakan memang memilih tinggal di Istana Bogor yang lebih sejuk. Tetapi kadang-kadang mereka harus turun ke Batavia, khususnya untuk menghadiri pertemuan Dewan Hindia, setiap Rabu.
Rumah van Braam dipilih untuk kepala koloni, karena Istana Daendels di Lapangan Banteng belum selesai. Tapi setelah diselesaikan pun gedung itu hanya dipergunakan untuk kantor pemerintah.
Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, beberapa peristiwa penting terjadi di gedung yang dikenal sebagai Istana Rijswijk (namun resminya disebut Hotel van den Gouverneur-Generaal, untuk menghindari kata Istana) ini. Di antaranya menjadi saksi ketika sistem tanam paksa atau cultuur stelsel ditetapkan Gubernur Jenderal Graaf van den Bosch. Lalu penandatanganan Persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947, yang pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir dan pihak Belanda diwakili oleh H.J. van Mook. Pada mulanya bangunan seluas 3.375 m2 berarsitektur gaya Yunani Kuno ini bertingkat dua. Tapi pada 1848 bagian atasnya dibongkar; dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang tanpa ada perubahan yang berarti.
Sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, saat ini Istana Negara menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat kenegaraan, antara lain pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah dan rapat kerja nasional, kongres bersifat nasional dan internasional, dan jamuan kenegaraan.
Karena Istana Rijswijk mulai sesak, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge tahun 1873 dibangunlah istana baru pada kaveling yang sama, yang waktu itu dikenal dengan nama Istana Gambir. Istana yang diarsiteki Drossares pada awal masa pemerintahan RI sempat menjadi saksi sejarah penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Waktu itu RI diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan kerajaan Belanda diwakili A.H.J Lovinnk, wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia.
Dalam upacara yang mengharukan itu bendera Belanda diturunkan dan Bendera Indonesia dinaikkan ke langit biru. Ratusan ribu orang memenuhi tanah lapangan dan tangga-tangga gedung ini diam mematung dan meneteskan air mata ketika bendera Merah Putih dinaikkan. Tetapi, ketika Sang Merah Putih menjulang ke atas dan berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan: Merdeka! Merdeka! Sejak saat itu Istana Gambir dinamakan Istana Merdeka. (fdl)