Berbincang tentang Dunia Pendidikan bersama dengan Bapak Supangat Rohani MA, Kepala SD/SMP Islam Al Syukro memang mengasyikkan. Sebagai pemerhati sekaligus praktisi Pendidikan, cermatannya begitu mendalam ketika menilai konsep dan metodologi transfer ilmu melalui lembaga pendidikan.
Kini, Pak Supangat tengah menyelesaikan program study beasiswa S-3 (program Administrasi Pendidikan) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat.
Seperti diketahui, pelaksanaan UN bagi siswa kelas IX SMP Islam Al Syukro dilaksanakan selama empat hari (empat materi Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan IPA), dengan lancar dan sukses, sejak Senin, 29 Maret – Kamis, 1 April 2010.
Berikut, kutipan wawancara bersama Pak Supangat mengenai Ujian Nasional (UN) di Ruang Pengawas UN SMP Islam Al Syukro, Senin (29/3):
* * *
Sebagai praktisi dan pemerhati pendidikan, dengan adanya konsep UN Ulangan bagi mereka yang gagal di UN Utama, komentar Anda?
Adanya UN Ulangan hanya bentuk lobby politik guna mempertemukan sisi yang pro dan kontra UN. Meskipun sebenarnya, kalau boleh saya katakan, UN Ulangan hanya untuk memfasilitasi anak yang tidak lulus UN Utama sehingga dapat lulus. Saya pun yakin bahwa tingkat pengamanan UN Ulangan tidak akan sedemikian ketat seperti saat pelaksanaan UN Ulangan.
Meski begitu, mereka yang punya kebijakan (Depdiknas – red), barangkali hanya berpikir pada tataran politis, dimana siswa yang tidak lulus UN Utama dan justru lulus pada UN Ulangan, maka persoalannya kemudian akan dianggap selesai (karena sudah lulus). Padahal, kenyataannya tidak demikian. Anak-anak yang tidak lulus UN Utama, sudah memiliki judgement lebih dulu, dimana mereka akan ’terhakimi’ atau ’dihakimi’ sebagai siswa yang kurang pandai dan stigma negatif lainnya. Jadi, menurut saya, adanya UN Ulangan bagi siswa yang tidak lulus UN Utama adalah bukan solusi terbaik.
Lantas, solusinya apa supaya UN tidak diwarnai kecurangan?
Solusinya adalah silakan UN tetap dijalankan, tapi tidak perlu sedemikian ketat. Sekaligus dijelaskan kepada para siswa bahwa UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan. Dengan demikian, pelaksanaan UN pasti akan terlaksana secara jujur.
Karena sebenarnya, penentu kelulusan seorang siswa itu ada tiga yaitu pihak Guru (yang menentukan nilai siswa atas setiap hasil bidang studi), pihak Sekolah (melalui penentuan berapa batas minimal nilai kelulusan), dan pihak Pemerintah (salah satunya melalui pelaksanaan UN).
Pertanyaan saya kemudian adalah kenapa kita lantas terlalu serius menanggapi penentu kelulusan yang hanya dari pihak Pemerintah saja melalui UN? Kenapa musti ada pengawas independen, pengawas di kelas (dari sekolah lain)? Kenapa musti ada training dengan mengeluarkan biaya besar bagi para calon pelaksana UN? Kenapa musti ada try out ini dan itu menjelang UN? Kenapa tidak ada pengawas bagi pengawas independen dan pengawas di kelas? Kenapa tidak ada pengawas bagi penentu kelulusan siswa terhadap pihak Guru dan Sekolah, karena, di pihak Guru dan Sekolah, mau tidak mau harus kita akui bahwa mereka (guru dan sekolah) itu sudah jujur. Bukankah pihak Guru dan Sekolah mengetahui benar bagaimana perkembangan hasil pembelajaran sekaligus attitude siswa mereka masing-masing.
Baru-baru ini, usai UN tingkat SMA, sejumlah siswa justru melakukan tawuran. Mungkin sebagai bentuk pelepasan ketegangan mereka (yang salah) setelah melaksanakan UN. Tanggapan Anda?
Kenapa muncul ledakan pelampiasan? Menurut saya, karena pemerintah jauh-jauh hari sudah memberikan Standar Isi dan Standar Kelulusan, yang bisa saya artikan, pemerintah ini memegang ’kepala ular’ tapi ’badan’nya dilepaskan. Artinya, ’badan ular’ ini sengaja dilepaskan oleh pemerintah, karena dilimpahkan sebagai tanggung-jawab para guru di sekolah masing-masing. Kalau yang diujikan dalam UN adalah materi dari para gurunya sendiri, maka siswa pasti akan yakin bahwa soal-soal UN sesuai dengan yang diajarkan oleh gurunya. Sehingga siswa pasti cukup yakin bahwa mereka bakal sanggup menyelesaikannya. Tapi, bila soal-soal UN ini tidak dibuat oleh guru mereka sendiri, setiap siswa pasti akan ragu, apakah soal-soal UN nanti akan sesuai atau tidak dengan yang diajarkan oleh gurunya selama ini. Disinilah anak merasa stress. Ironisnya, para guru pun juga tidak yakin dengan soal-soal UN yang akan diajukan.
Bagaimana dengan di SMP Islam Al Syukro?
Saya tidak setuju bila usai UN justru dilampiaskan dengan cara-cara yang negatif, seperti tawuran, coret-coret baju dan sebagainya. Siswa SMP Islam Al Syukro ini sudah terlatih untuk bersikap pasrah kepada Allah SWT, setelah mereka berikhtiar menyelesaikan UN sebaik-baiknya.
Saya yakin, siswa-siwa kami pasti akan tetap berperilaku sopan usai UN, karena bukankah mereka juga belum tahu apakah benar akan lulus atau tidak. Dengan siswa tetap berperilaku sholeh dan sholehah, maka insya Allah SWT akan membalas kebaikan perilaku ini dengan yang terbaik, atau nilai kelulusan yang terbaik! (hrfadli)