SPIRITUALITAS UNTUK BANGSA LEBIH BAIK
Oleh: Ahmad Mudzakir, S.Pd. (Koordinator Bidang Umum Pelaksana Kegiatan YAWADAI, aktif memberikan materi-materi motivasi spiritual)
Globalisasi mendorong setiap orang untuk berfikir dan bekerja keras, agar dirinya mampu bertahan dalam persaingan yang semakin ketat. Persaingan ketat untuk menggapai posisi sukses, bukan hanya dirasakan antar negara, tetapi juga antar individu. Karena memang, hukum globalisasi akan memposisikan orang yang kuat, pintar dan berpengaruh sebagai pemenang kompetisi. Dan sebaliknya, mereka yang lemah akan terlindas oleh arus modernisasi yang semakin kuat itu.
Keinginan setiap orang untuk survive dalam kompleksitas kehidupan modern, mendorong masyarakat untuk berfikir rasional, inovatif, kreatif. Barometer kesuksesan kemudian diidentikkan dengan pencapaian-pencapaian material, yang tidak jarang dilakukan dengan cara apapun tanpa mempedulikan aspek-aspek lainya, terutama aspek kejiwaan. Akibatnya, modernisasi yang menguras energi rasionalitas dan ambisi penguasaan material, telah mempersempit ruang jiwa manusia.
Dalam kehidupan modern ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terus melaju pesat. Namun demikian, seiring dengan kemajuan itu pula, aspek kejiwaan manusia modern semakin hampa. Kerja keras pencarian kesuksesan seringkali mengorbankan aspek-aspek kemanusiaan, peperangan, kompetisi tidak sehat, pembunuhan karakter, eksploitasi alam dan sebagainya. Sehingga globalisasi yang ditujukan untuk menggapai kemakmuran dan perdamaian global, pada prakteknya penuh dengan eksploitasi, yang pada akhirnya berbuah kerusakan global. Kerusakan-kerusakan itu sebanding dengan krisis kejiwaan umat manusia.
Krisis kejiwaan itu sudah semakin menguat dalam kehidupan global. Banyak orang, di tengah kehidupan suksesnya justru mengalami kekeringan jiwa, mencari-cari kebahagiaan sejati yang mendamaikan hidupnya. Manusia modern telah mampu mengisi ruang jasmaniahnya dengan capaian-capaian material, namun jiwanya tetap membutuhkan sesuatu yang berbeda.
Bagi mereka yang hidupnya penuh instabilitas jiwa, berbagai terpaan kehidupan modern akan membuatnya rapuh. Banyak kasus bunuh diri, stres, dan depresi di sekitar kita karena aspek material tidak mampu memberinya kebahagiaan. Konflik antar individu, antar kelompok dengan mudah terjadi, karena kegelisahan itu sudah mengakar dalam kehidupan. Sebagai contoh kecil, Koran Republika, Jum'at 02 Oktober 2009. memberitakan, bahwa 14% warga DKI mengalami stress. Sebuah berita yang memilukan.
Di tahun 2009an ini, penduduk dunia juga terancam dengan stres-stres baru. Ketakutan akan bencana, ketakutan akan wabah penyakit sedikit tidaknya menjadi potensi orang untuk selalu cemas. Kecemasan yang bertumpuk dari hari ke hari akan mengkristal menjadi depresi.
Manusia modern yang menderita
Paul Pearsall, doktor psikologi pendidikan menyebutkan, bahwa manusia modern dewasa ini terancam dengan toxic succes, sukses yang beracun. Ilmuwan yang sukses menemukan inovasi-inovasinya dan diakui kehebatanya di dunia, bisa jadi ia tidak menemukan kebahagiaan sejati. Seorang selebritis, yang setiap harinya penuh dengan pujaan para penggemarnya, belum tentu merasakan indahnya kebahagiaan keluarga. Pengusaha yang sukses dengan pendapatan dolarnya, tetapi acapkali dilanda stres dan depresi, maka ia belum tentu menemukan kebahagiaanya. Politisi hebat yang sukses dan berpengaruh, pun belum tentu tenang hatinya. Contoh-contoh tersebut menggambarkan bahwa kesuksesan manusia modern belum tentu sebanding dengan kebahagiaan yang diperolehnya. Boleh jadi, semakin sukses, maka seorang manusia modern semakin menderita.
James Gleik mengatakan, bahwa manusia modern dewasa ini sedang menderita hurry sickness, penyakit terburu-buru. Manusia modern mencari makanan yang disajikan secara cepat, membeli komputer yang bekerja lebih cepat, belajar dengan cepat, dan sukses lebih cepat. Menurut James Gleik, penyakit tidak sabaran (impatience) inilah yang mengakibatkan mudah terjadinya tindak kekerasan, kegelisahan, kemarahan serta berbagai gangguan psikologis lainnya.
David Myers menuliskan sebuah buku berjudul The American Paradox; Spiritual Hunger in an Age Plenty. Dalam buku itu David Myers menjelaskan, bahwa di tengah-tengah kehidupan Amerika Serikat sebagai sebuah Negara makmur dan adikuasa, justru banyak ditemukan penderitaan hidup. Ia menemukan banyak orang-orang kaya disana yang hidupnya menderita. Bahkan ada sebuah grafik yang dibuat Richard Gene Niemi, John Mueller dan Tom W. Smith, yang menggambarkan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang di Amerika di tahun 1989 tidak berdampak kepada kebahagiaan.
Spiritualitas sebagai sumber kejayaan sebuah bangsa
Jika jiwa manusia modern dibiarkan semakin menderita, maka penderitaan itu akan semakin mempengaruhi semua aspek kehidupan global, dan pada akhirnya bermuara pada kehancuran sosial. Masyarakat dunia ini perlu segera diobati dengan spiritualitas. Yakni pemahaman dan kesadaran untuk menerapkan nilai-nilai luhur kehidupan yang bersumber dari Tuhan. Tuhan adalah Maha Pemelihara alam semesta, Dialah yang menjaga kehidupan ini agar terus penuh kedamaian.
Semua agama mengajarkan manusia untuk menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai luhur dari Tuhan Pemelihara Kebahagiaan. D.T. Campbell, psikolog yang melakukan penelitian tentang hubungan psikologi dengan agama, menyimpulkan bahwa agama memberikan sumbangan yang sangat besar dalam membantu mengatasi penderitaan manusia. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai semua tradisi keagamaan merupakan resep hidup yang telah dikembangkan, diuji, dan ditapis melalui ratusan generasi sejarh sosial umat manusia.
Agama Budha mengajarkan kebahagiaan melalui Empat Kebenaran Mulia. Yahudi mengajarkan kebahagiaan melalui Taurat, Kristen mengajarkan kebahagiaan melalui Amsal 14;21, Mazmur 128: 1-2 dan sebagainya. Dan Islam mengajarkan kebahagiaan dengan iman dan taqwa. Aristoteles mengajarkan murud-muridnya untuk menggapai kebahagiaan dengan kebaikan-kebaikan. Dan banyak lagi ajaran-ajaran dari tokoh berpengaruh, yang mengajarkan kebahagian kepada pengikutnya.
Sipritualitas yang kuat pada diri setiap orang akan melahirkan ketentraman, kedamaian, produktifitas. Yang apabila dihimpun secara kolektif akan menjadi sumber kemakmuran sebuah negara.
Krisis Spiritualitas menghantarkan kehancuran Indonesia
Indonesia adalah negara kaya raya dengan berbagai sumber dayanya. Jika dikelola dengan baik, dengan kepemimpinan, pemerintahan dan partisipasi masyarakat yang dilandasi nilai-nilai luhur keagamaan, maka laut dan daratan serta segala isinya akan mampu mensejahterakan masyarakatnya. Namun, karena ekses modernisasi, yang telah menghantarkan bangsa kita menjadi tidak bermoral, maka sumber daya itu menjadi tidak berarti.
Beberapa tahun yang lalu, berdasarkan sebuah penelitian, bahwa Indonesia menempati rangking atas korupsinya. Sebuah prilaku kolektif, dimana kejujuran, hati nurani dan pertanggung jawaban prilaku terabaikan. Akibatnya, krisis multidimensi menerpa bangsa ini, semua rakyat menanggung penderitaanya.
Perilaku korup dan amoral lainya menjelma menjadi kebiasaan sehari-hari. Sampai akhirnya, amoralitas itu menutupi hati setiap orang dan berubah seperti kebenaran. Timbulah resesi. Banyak orang, yang tujuan hidupnya hanya mengejar capaian materi, kemudian menghalalkan segala cara, berbuat kerusakan terhadap kehidupan, menimbulkan kerusakan bagi banyak pihak, mengabaikan nilai-nilai kebenaran. Jika ini dibiarkan, maka Indonesia yang kaya raya tidak akan menghasilkan kebahagiaan bagi rakyatnya, yang ada hanyalah kehancuran.
Spiritualitas untuk kemajuan Indonesia
Dalam konteks membangun bangsa yang maju, Indonesia harus memperbaiki spiritualitas dirinya. Semua elemen bangsa, baik pemerintah, legislatif, rakyat biasa, para profesional, sipil maupun militer, tanpa membedakan suku, status sosial dan sebagainya, tanpa terkecuali semuanya harus memperbaiki hatinya, jiwanya, qolbunya, cara pandangnya tentang kehidupan. Dengan spiritualitas yang kuat, maka setiap individu akan menjadi pribadi unggul dan produktif, yang menebar kebaikan bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.